Korban pertama perang adalah kebenaran. Ini berlaku juga selama intervensi militer Rusia di Ukraina. Kaum Marxis harus mampu meneropong melalui kabut dusta dan propaganda perang, serta menganalisis sebab musabab sesungguhnya yang melatarbelakangi konflik ini; apa penyebabnya’ dan apa kepentingan-kepentingan yang sesungguhnya bersembunyi di balik dalih-dalih dan justifikasi-justifikasi yang disebarkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Di atas segalanya, kita harus melakukan ini dari sudut pandang kepentingan kelas buruh dunia.
Walaupun kami menentang intervensi Rusia di Ukraina, kami menentangnya dengan alasan kami sendiri, yang akan kami jelaskan di sini, dan yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan hingar bingar yang heboh dari media-media borjuis. Tidak diragukan lagi, tugas pertama kita adalah mengekspos kebohongan dan kemunafikan yang menjijikkan dari imperialisme AS dan barat.
Mereka dengan berisik mengutuk invasi Rusia ke Ukraina dengan alasan invasi ini melanggar “kedaulatan nasional” dan “hukum internasional”.
Pernyataan mereka ini munafik. Imperialisme AS dan kacung-kacung Eropa mereka justru adalah pihak yang memiliki sejarah panjang dan berdarah-darah melanggar kedaulatan nasional dan apa-yang-disebut hukum internasional.
Dalam mengejar tujuan imperialis mereka, mereka tidak pernah mengecam pemboman dan invasi atas negara berdaulat (Irak), membantai warga sipil (Vietnam), mengorganisir kudeta militer fasis (Chile), dan pembunuhan politik (Allende, Lumumba). Mereka adalah orang terakhir di muka bumi yang berhak memberi ceramah mengenai nilai-nilai perdamaian, demokrasi, dan kemanusiaan.
Semua celoteh mengenai kedaulatan Ukraina terjungkirbalikkan oleh fakta bahwa Ukraina sudah sejak lama berada di bawah jempol AS semenjak kemenangan gerakan Euromaidan 2014. Semua tuas kunci ekonomi dan kekuasaan politik ada di tangan oligarki yang korup dan pemerintah mereka, yang pada gilirannya adalah boneka imperialisme AS dan pion di tangannya.
IMF mendikte kebijakan ekonomi Ukraina, dan kedutaan besar AS memainkan peran kunci dalam pembentukan pemerintahan Ukraina. Pada kenyataannya, perang yang kini berkecamuk adalah perang antara AS dan Rusia, yang dimainkan di wilayah Ukraina.
Agresi NATO
Setelah runtuhnya Uni Soviet, posisi Rusia dalam arena internasional menjadi sangat lemah. Kendati semua janji mereka, imperialisme AS menggunakan kesempatan ini untuk terus melakukan ekspansi ke Eropa Timur, dengan memperluas wilayah NATO sampai ke perbatasan Rusia.
Dalam konteks ini, imperialisme AS merasa dirinya mahakuasa, dan para politisinya di Washington memproklamirkan “Orde Dunia Baru”. Imperialisme AS mengintervensi wilayah pengaruh lamanya Soviet, seperti Yugoslavia dan Irak. Rusia harus menderita rasa malu akibat perang NATO di Serbia. Ini disusul oleh serangkaian revolusi “warna” yang menegakkan pemerintahan-pemerintahan pro-Barat; pengerahan pasukan militer di Eropa Timur, yang disertai dengan latihan-latihan militer di dekat perbatasan Rusia; dan banyak provokasi lainnya.
Semuanya ada batasnya. Pada satu titik, kelas penguasa Rusia yang kepentingannya diwakili oleh Putin akhirnya mengatakan: Cukup. Titik ini dicapai pada 2008, dengan perang di Georgia, yang bermaksud bergabung dengan NATO.
Rusia mengambil peluang dari terjebaknya imperialisme AS di Irak, dan meluncurkan perang yang pendek dan tajam terhadap Georgia, dengan menghancurkan militernya (yang telah dilatih dan dipersenjatai oleh NATO), dan lalu mundur, setelah memperoleh titik-titik dukungan dari Republik Abkhazian dan North Ossetian, yang pecah dari Georgia.
Ditumbangkannya pemerintahan Yanukovitch oleh gerakan Euromaidan menandai ekspansi kepentingan AS dan NATO. Kali ini, Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia. Ini adalah provokasi yang kelewatan, dan Rusia merespons pada 2014 dengan menganeksasi Krimea, yang kebanyakan penduduknya adalah populasi berbahasa Rusia, dan adalah pangkalan untuk angkatan laut Rusia di Laut Hitam, yang berlabuh di Sevastopol. Rusia juga menyediakan bantuan militer ke para pemberontak dalam perang saudara antara warga etnis Rusia di Donbas dan rejim nasionalis sayap-kanan di Kiev. Barat mengecam dan menerapkan sanksi, tetapi tidak ada konsekuensi serius bagi Rusia.
Pada 2015, setelah jelas bahwa AS tidak siap berkomitmen mengirim prajurit angkatan darat ke Suriah, Rusia mengintervensi untuk mendukung Assad dan menentukan hasil perang saudara di sana. Suriah penting bagi Rusia, karena negeri ini merupakan satu-satunya pangkalan laut Rusia di Mediterania. Hasil perang Suriah ini adalah kemunduran serius bagi imperialisme AS, di wilayah yang amat strategis bagi mereka.
Sekarang, Putin melihat adanya peluang lain untuk menekankan kekuatan Rusia. AS baru saja menderita kekalahan yang memalukan di Afghanistan. Rusia mampu menengahi perdamaian untuk perang Azerbaijan-Armenia pada 2020; mengintervensi untuk mendukung Lukashenka di Belarus pada 2020-21; dan lalu mengintervensi secara militer di Kazakhstan pada awal 2022.
Pemerintahan Zelensky memainkan sebuah peran yang fatal dengan mempertajam provokasi. Setelah tumbangnya Yanukovitch pada 2014, pemerintahan Ukraina telah mendorong masalah keanggotaannya dalam NATO dan Uni Eropa. Ini kemudian dimasukkan ke dalam Konstitusi pada 2020. Zelensky, seorang pelawak yang lalu menjadi presiden, telah dipilih pada 2019 karena dia dilihat sebagai orang luar, seseorang yang akan membersihkan politik yang kotor dalam pemerintah, melawan pengaruh oligarki dan pada saat yang sama mencapai perdamaian dengan Rusia.
Akan tetapi, di bawah tekanan dari sayap kanan-ekstrem, dan didorong oleh Washington, dia justru meluncurkan kebijakan-kebijakan yang berkebalikan.
Masalah keanggotaan NATO kembali dijadikan agenda penting dan didorong dengan keras. Rusia melihat ini sebagai ancaman. Seseorang bisa saja mengatakan bahwa ini seharusnya tidak menjadi ancaman bagi Rusia, karena negeri-negeri lain yang berbatasan dengan Rusia telah menjadi bagian dari NATO. Tetapi ini bukan masalahnya. Situasi hari ini persis merupakan hasil dari puluhan tahun kebijakan imperialis Barat yang memperketat kepungan mereka terhadap Rusia, yang kini mendorong balik.
Apakah invasi ini tak terelakkan?
Secara dialektis, kuantitas berubah menjadi kualitas. Dengan bahasa fisika, sebuah titik kritis telah dicapai dimana pecahnya konflik jelas ada dalam agenda.
Akan tetapi, selalu ada pilihan lain, bahkan dalam perang. Bila Putin bisa memenuhi tujuannya tanpa harus susah payah meluncurkan invasi, dengan semua risiko dan biaya yang menyertainya, dia tentunya akan memilih jalan ini. Kemungkinan seperti itu pasti ada, dan tampaknya adalah skenario yang paling memungkinkan.
Sebelumnya, ada indikasi bahwa AS siap memberi sejumlah konsesi. Dan mengapa tidak? Biden awalnya mengatakan secara publik bahwa isu keanggotaan Ukraina dalam NATO tidak akan diungkit lagi di masa depan. Tetapi pada akhirnya, peristiwa mengambil jalan lain.
Putin menggunakan ancaman aksi militer (sementara menyangkal dia akan melakukannya) guna memaksa imperialisme AS ke meja perundingan. Tuntutannya cukup jelas: Ukraina tidak boleh bergabung ke NATO; akhiri ekspansi NATO ke timur; dan jaminan keamanan di Eropa.
Tuntutan-tuntutan ini sesuai dengan kepentingan kapitalisme Rusia, dan oleh karenanya berseberangan dengan kepentingan kapitalis AS. Imperialisme AS oleh karenanya tidak siap memberi secuil pun konsesi pada tuntutan Rusia. Tetapi, AS juga tidak siap menjanjikan pasukan darat untuk membela Ukraina. Ancaman sanksi, yang tidak disokong oleh aksi militer, jelas tidak mampu mencegah Putin.
Peristiwa berjalan dengan dinamikanya sendiri. Ketika Putin tidak memperoleh konsesi yang dia harapkan, dia tidak punya pilihan lain. Waktu bermain-main sudah berakhir.
Mengapa imperialisme AS dengan keras kepala menolak memberi konsesi? AS tidak dapat terlihat takluk ketika diancam. Ini dapat melemahkan otoritas imperialisme AS lebih jauh di mata dunia. Tetapi begitu juga dari sudut pandang Putin.
Penolakan Barat bahkan untuk mempertimbangkan tuntutan Rusia membuat Putin ada dalam posisi sulit: dia harus merealisasikan ancamannya atau melangkah mundur. Ini menentukan alur peristiwa selanjutnya.
Seperti orang yang bermain catur, Putin sudah mempertimbangkan keengganan imperialisme barat untuk mengintervensi secara langsung dengan pasukan darat ke Ukraina. Dan dia juga sudah memperhitungkan ongkos sanksi ekonomi terhadap Rusia. Dengan kekuatan besar 190.000 prajurit yang sudah dihimpun di perbatasan Ukraina, langkah selanjutnya menjadi tak terelakkan.
Setiap perang agresi selalu membutuhkan pembenaran. Untuk konsumsi opini publik di Rusia, Putin menggunakan dalih bahwa Ukraina membom Donetsk, yang dia sebut sebagai “genosida”. Ini melebih-lebihkan, tetapi ini juga tidak boleh diabaikan seperti yang telah dilakukan oleh kaum imperialis.
Penindasan kejam yang diderita oleh rakyat berbahasa-Rusia di Donbas di tangan militer Ukraina adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Selama 8 tahun terakhir, sekitar 14.000 orang telah tewas dalam konflik ini, dan mayoritas besar adalah warga sipil dari wilayah Donetsk. Diperkirakan 80 persen bom diluncurkan oleh pasukan Ukraina.
Putin mengambil tindakan tegas dengan mengakui republik Donbas dan mengirim pasukan untuk menyokong keputusannya. Ini adalah sinyal untuk meluncurkan serangan militer ke Ukraina.
Apa yang melandasi tindakan Putin?
Dengan semua ini, Vladimir Putin jelas tengah mengejar kepentingan dia sendiri. Dengan mengobarkan sentimen nasionalis, dia berharap dapat memulihkan popularitasnya, yang belakangan tergerus karena krisis ekonomi, serangan terhadap kelas buruh, pensiun, hak demokrasi, dsb.
Ini berhasil dengan aneksasi Krimea pada 2014, dan dia membayangkan dia dapat mengulang trik ini.
Dia ingin tampil sebagai pemimpin yang berani, yang berdiri menantang Barat dan membela warga Rusia di mana pun mereka berada. Dia mencitrakan dirinya sebagai pembela warga Rusia di Donbas. Ini adalah dusta. Putin tidak peduli pada nasib rakyat Donbas.
Dia telah menggunakan Republik Donetsk dan Luhansk sebagai recehan untuk mencapai tujuannya sendiri di Ukraina. Inilah makna sesungguhnya dari pakta Minsk.
Pada kenyataannya, dia punya ilusi kebesaran imperium. Dia melihat dirinya sendiri seperti Tsar, dengan mengikuti Kekaisaran Tsar sebelum 1917 dan sauvinisme Rusia Raya yang reaksioner. Gagasan bahwa manusia seperti ini dapat memainkan peran progresif di Ukraina adalah sepenuhnya konyol.
Imperialisme Rusia
Rusia bukanlah sebuah negeri yang lemah yang didominasi oleh imperialisme. Jauh dari itu. Rusia adalah kekuatan regional, yang memiliki kebijakan imperialis. Alasan Rusia menyerang Ukraina adalah untuk menjaga wilayah pengaruhnya dan keamanan nasional demi kepentingan kapital Rusia.
Seorang formalis yang bodoh mungkin saja akan keberatan, dan mengatakan, Rusia tidak memilik semua ciri-ciri yang dipaparkan oleh Lenin dalam bukunya yang terkenal itu, Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme. Mungkin saja, tetapi ini bukan sama sekali menandakan bahwa Rusia bukanlah sebuah negeri imperialis. Jawaban atas keberatan tersebut dapat ditemukan dalam buku Lenin yang sama itu.
Lenin menggambarkan Rusia sebagai “sebuah negeri yang paling terbelakang secara ekonomi, dimana imperialisme kapitalis modern berkait-kelindan dalam sebuah jejaring relasi-relasi pra-kapitalis yang rapat.” Tetapi pada saat yang sama, dia mengikutsertakan Rusia Tsaris sebagai salah satu lima bangsa imperialis utama. Dia mengatakan ini walaupun Rusia adalah negeri yang terbelakang secara ekonomi dan tidak pernah mengekspor kapital barang satu peser pun.
Rusia hari ini sudah bukan negeri terbelakang dan tidak berkembang seperti sebelum 1917. Sekarang, Rusia adalah sebuah negeri industri yang maju, dengan konsentrasi kapital yang tinggi, dimana sektor perbankan (yang sendirinya juga tersentralisir) memainkan peran kunci dalam ekonomi.
Ini tidak diubah oleh fakta bahwa migas memainkan peran kunci dalam ekonomi Rusia. Terlebih lagi, sumber daya alam ini tidak berada di bawah kendali perusahaan-perusahaan multinasional asing, tetapi ada di tangan oligarki Rusia. Kebijakan asing Rusia secara garis besar diarahkan oleh keperluan untuk memastikan pasar untuk ekspor energinya (terutama Eropa) dan logistik untuk mengirimnya.
Benar kalau Rusia tidak bisa dianggap setara dengan Amerika Serikat. AS masihlah merupakan kekuatan imperialis yang dominan di dunia, dengan kekuatan yang berkali lipat lebih besar. Bila dibandingkan, Rusia adalah kekuatan imperialis yang berukuran kecil atau menengah. Ekonominya tidak sebanding dengan AS, dan bahkan tidak sebanding dengan kekuatan imperialis Eropa.
Tetapi tidak ada seorangpun yang waras yang akan menyangkal Rusia sebagai kekuatan imperialis regional dengan ambisi di Asia Tengah, Kaukasus, Timur Tengah, Eropa Timur dan Balkan.
Rusia mewarisi senjata nuklir dari Uni Soviet, dan dalam beberapa tahun terakhir telah mengucurkan investasi besar untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya. Anggaran belanja militer Rusia termasuk lima besar di dunia, dan telah tumbuh 30 persen selama tahun-tahun terakhir, dan menempati urutan ke-3 di dunia dalam belanja militer sebagai porsi GDP (4,3 persen).
Perang Rusia di Ukraina adalah sebuah perang imperialis yang reaksioner yang tidak boleh kita dukung. Ini akan memiliki dampak yang paling negatif di Ukraina, Rusia, dan seluruh dunia. Untuk alasan inilah kita menentang perang Rusia di Ukraina.
Perang ini menumbuhkan kebencian nasional di antara rakyat pekerja yang sejak lama telah tersatukan dalam ikatan persaudaraan yang erat. Perang ini mempertajam nasionalisme Ukraina yang reaksioner di satu sisi, dan sauvinisme Rusia Raya yang reaksioner di sisi lain, dan memecah belah kelas buruh seturut garis nasional, etnis, dan linguistik.
Jaminan utama untuk melawan racun nasionalisme ini adalah perjuangan kelas buruh Rusia yang dengan tegas mempertahankan posisi internasionalisme proletarian, dengan kokoh berdiri melawan racun sauvinisme dan menentang kebijakan reaksioner Putin di dalam negeri maupun di luar negeri. Posisi yang diadopsi oleh seksi IMT di Rusia adalah teladan dalam hal ini. (No to war with Ukraine! Against Russian military intervention!)
Sementara bagi kaum buruh Ukraina, sembari melawan agresi Rusia, mereka harus paham bahwa bangsa mereka telah dikhianati oleh mereka yang mengklaim sebagai sahabat dan sekutu mereka. Burung bangkai imperialis barat sengaja mendorong Ukraina ke perang, dan lalu diam berpangku tangan sementara Ukraina tenggelam dalam kekacauan yang berdarah-darah. Sepanjang mereka terus menjanjikan pasokan senjata yang terbatas, tetapi tanpa menjanjikan pasukan darat, ini adalah usaha sinis dari imperialisme barat untuk terus memperpanjang konflik ini, demi menjerumuskan militer Rusia ke dalam rawa pekat dan menyebabkan jumlah korban sebanyak mungkin, yang berguna sebagai serangan propaganda murahan terhadap Rusia.
Semua celoteh mengenai sanksi, semua retorika yang membual mengenai “bertempur sampai titik darah penghabisan”, sementara menolak mengirim satu pun prajurit mereka sendiri untuk bertempur di Ukraina, semua air mata buaya yang meratapi penderitaan rakyat Ukraina yang malang, dsb. – semua ini tidak dapat menyembunyikan fakta sederhana bahwa Ukraina telah diperlakukan sebagai pion dalam permainan kekuatan politik yang sinis.
Rakyat Ukraina! Buka matamu dan ketahuilah bahwa bangsamu telah dikorbankan di atas altar imperialisme yang berlumuran darah! Dan pahamilah bahwa satu-satunya sahabat sejatimu adalah kaum buruh sedunia!
Konsekuensi global
Perang di Ukraina akan memiliki konsekuensi yang mendalam dalam skala dunia. AS adalah kekuatan imperialis yang mendominasi dunia dan kekuatan yang paling kontra-revolusioner di muka bumi. Tetapi krisis hari ini telah mengekspos kelemahan imperialisme AS.
Kekuatannya telah secara perlahan-lahan digerus oleh krisis kapitalisme dunia, yang terekspresikan dalam ketidakstabilan besar, perang, dan gejolak, yang menghabiskan begitu banyak darah dan emas, dan ini mustahil bisa ditanggung oleh bahkan bangsa yang paling kaya di muka bumi.
Pendudukan militer di Irak dan Afghanistan telah menghasilkan bencana, dan ini telah mengungkapkan kelemahan AS di hadapan semua orang. Ini adalah salah satu faktor yang mendorong Putin untuk meluncurkan perang di Ukraina. Dia memperhitungkan, Amerika tidak akan mengintervensi secara militer, dan dia tidak keliru.
Menyusul serangkaian kekalahan dalam petualangan militernya, yang sangatlah memakan biaya dan tidak menyelesaikan apapun, opini publik di AS sudah tidak lagi mendukung petualangan militer. Tangan Biden secara efektif terikat.
Ini akan dicatat dengan baik oleh China, yang sekarang telah muncul sebagai saingan kuat imperialisme AS. China telah berbenturan dengan AS di banyak tempat, dan China dianggap oleh Washington sebagai ancaman yang jauh lebih besar daripada Rusia.
China sudah bukan lagi sebuah bangsa yang lemah, yang secara ekonomi terbelakang, yang dikangkangi imperialisme seperti sebelum 1949. China memiliki basis industri yang kuat dan kekuatan militer yang ampuh. China tidak menyembunyikan rencananya mengenai Taiwan, yang ingin disatukan kembali dengan China lewat negosiasi damai, tetapi bila jalan ini menjadi mustahil, China akan menggunakan jalan militer.
Masalah Ukraina telah menjadi pelajaran penting bagi Beijing, yang mengungkap keterbatasan kekuatan militer AS. Dan walaupun China tidak ingin memprovokasi partner-partner dagang mereka di Barat dengan mendukung Rusia secara terbuka – dan oleh karena itu mereka abstain dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB – China telah membuat jelas posisi mereka, bahwa mereka menyalahkan AS yang mendorong Ukraina ke dalam NATO.
China jelas telah mencapai kesepakatan dengan Rusia untuk mengatasi dampak sanksi, dan ini satu lagi alasan mengapa sanksi ini akan gagal. Masalah Ukraina jelas akan membuat lebih rapat blok imperialis Rusia-China di periode mendatang – sebuah perkembangan yang akan sangat dikhawatirkan oleh Washington.
Perpecahan antara Imperialisme AS dan Sekutu-sekutu Eropanya
Konflik di Ukraina antara kepentingan AS dan Rusia juga telah mengekspos perpecahan antara Washington dengan sekutu-sekutu Eropanya, terutama Prancis dan Jerman. Biasanya, kaum borjuasi Prancis selalu mencoba mempertahankan pretensi kemandirian, dengan mengembangkan senjata nuklir mereka sendiri dan memperluas pengaruh imperialis mereka sendiri di Afrika dan tempat lainnya. Dalam konflik ini, Macron mencoba memainkan peran mandiri. Ini sebagian dimotivasi oleh pilpres mendatang. Tetapi posisi Paris dan Berlin juga berlandaskan kepentingan ekonomi.
Eropa sangatlah tergantung pada impor gas Rusia, yang mencakup 40 persen. Ini terutama benar bagi Jerman, yang mengimpor 60 persen suplai gasnya dari Rusia. Selain itu, Jerman memiliki investasi penting di Rusia. Inilah alasan sesungguhnya Jerman enggan mengambil langkah apapun yang dapat memperparah konflik ini, dan keengganannya untuk menerapkan sanksi atas Rusia.
Setelah konflik ini berakhir (dan cepat atau lambat ini akan berakhir), sanksi-sanksi ini, dan banyak lainnya, akan dengan diam-diam dibatalkan, karena dampaknya terhadap perekonomian Eropa (terutama Jerman) terlalu menyakitkan. Kendati semua klaim, Jerman tidak dapat menemukan sumber alternatif untuk migas mereka, dengan harga yang cocok.
Jerman adalah kekuatan imperialis, dan kebijakan luar negerinya didikte oleh kepentingan kapital Jerman, yang tidak selalu bersesuaian dengan kepentingan kapital AS. Kapital Jerman mengendalikan Eropa lewat mekanisme UE. Selama 30 tahun, Jerman memiliki kebijakan meluaskan pengaruhnya ke Eropa Timur dan Balkan (dengan memainkan peran menentukan dalam memecah Yugoslavia), dan perdagangan luar negerinya membuatnya terikat erat dengan China.
Setelah kalah dalam Perang Dunia II, ada batasan-batasan sejauh mana Jerman diperbolehkan membangun kembali kekuatan militernya. Kelas penguasa Jerman selalu hati-hati tidak dilihat memainkan peran langsung dalam petualangan militer imperialis, walaupun Jerman adalah bagian dari NATO. Keengganan ini sudah berakhir beberapa waktu yang lalu. Jerman, di bawah Menteri Luar Negeri dari Partai Hijau, mengirim pasukan ke Yugoslavia pada 1990an. Walaupun Jerman menentang invasi ke Irak pada 2003, mereka mengirim pasukan ke Afghanistan.
Hari ini, kapital Jerman telah menggunakan dalih perang Ukraina untuk meningkatkan anggaran militer mereka. Adalah hal yang niscaya bahwa setiap kekuatan imperialis harus menyesuaikan kekuatan ekonomi mereka dengan kekuatan militer.
Tentu saja, musuh utama imperialisme AS bukanlah Rusia, tetapi China. Washington jelas telah mengarahkan kebijakan mereka ke Asia. Dalam konflik ini, China telah mendukung Rusia. Pada saat yang sama, kepentingan China tidaklah persis sama dengan Rusia. Imperialisme China membela kepentingan kaum kapitalis China, termasuk melindungi pasar ekspor mereka di Barat. Untuk alasan ini, China tidak ingin tampil secara publik sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tindakan Rusia, walaupun tentu saja China mendukung tindakan Rusia.
Tidak akan pecah perang dunia baru antara AS dan Rusia, ataupun antara AS dan China. Sebagian karena ancaman perang nuklir, tetapi juga karena massa secara tegas akan menolak perang semacam ini. Kapitalis tidak mengobarkan perang demi patriotisme, demokrasi, ataupun prinsip-prinsip besar lainnya. Mereka mengobarkan perang demi profit, demi pasar, demi sumber daya alam (migas), dan untuk memperluas wilayah pengaruh mereka.
Tetapi perang nuklir akan berarti kehancuran bersama, yang dikenal dengan sebutan mutually assured destruction (MAD). Jelas, perang seperti ini tidak sesuai dengan kepentingan kaum bankir dan kapitalis.
Konsekuensi Ekonomi
Satu lagi aspek penting adalah dampak perang Ukraina dan sanksi ekonomi atas perekonomian dunia.
Pada akhir 2019, perekonomian dunia bergerak ke kemerosotan baru. Setelah kembali ke semacam normalitas menyusul syok dari pandemi, situasinya sangatlah rapuh. Tidak semua negeri telah pulih. Perekonomian dunia penuh dengan kontradiksi. Syok apapun bisa mendorongnya jatuh ke resesi.
Krisis di Ukraina telah menyebabkan kenaikan tajam dalam harga energi, yang akan menjadi semakin parah. Ini memperkuat tekanan inflasi atas perekonomian dunia dan juga faktor-faktor lain yang mengarah ke stagflation, yakni ekonomi yang stagnan yang disertai harga-harga barang yang melambung tinggi. Sejumlah ekonom borjuis memperkirakan, konflik Ukraina ini akan memangkas 0,5 persen GDP di Eurozone dan Inggris pada 2023 dan 2024.
Situasi ini akan menjadi lebih parah dengan sangat cepat. Sanksi terhadap Rusia sudah memukul perekonomian Rusia. Laporan terakhir mengindikasikan jatuhnya nilai rubel, yang telah memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Inflasi melambung, dan kerumunan warga yang cemas menarik uang mereka dari bank. Bursa saham Moskow juga ditutup.
Berita ini disambut dengan bahagia oleh para komentator Barat, yang mengabaikan fakta bahwa bursa saham mereka juga menderita kerugian besar, dan harga-harga juga melambung tinggi di sana. Akan tetapi, dampak langsungnya ke Rusia akan dengan cepat menghilang, dan akan ada semacam keseimbangan. Tidak demikian dengan perekonomian dunia.
Sanksi adalah pedang bermata dua. Kita dapat dengan yakin meramalkan, Rusia akan membalas sanksi ekonomi ini. Rusia akan mengancam memotong suplai gas ke Eropa, dan Medvedev sudah mengancam akan menyita aset-aset barat di Rusia.
Posisi gerakan buruh
Perang telah menguji semua tendensi dalam gerakan buruh, dan seperti biasa, kaum reformis dan sosial demokrat telah tergesa-gesa bergabung dengan kelas penguasa mereka sendiri, dan mendukung sanksi atas Rusia. Kaum reformis kiri di Barat telah terpecah ke dalam berbagai kamp: sebagian telah secara terbuka bergabung dengan kelas penguasa, di bawah slogan “Hands off Ukraine”; yang lainnya telah jatuh ke dalam pasifisme yang impoten, yang menyerukan pemulihan “hukum internasional” yang mistis itu, dan berharap “diplomasi” akan dapat mencegah perang.
Di Rusia, kepemimpinan Partai Komunis, seperti yang diharapkan, telah berkapitulasi pada kelas penguasa mereka sendiri dan sepenuhnya mendukung intervensi imperialis Putin. Tendensi-tendensi kiri lainnya telah membuntuti kaum liberal, yang mewakili faksi kelas penguasa yang lainnya.
Posisi kaum Marxis revolusioner harus jelas, yakni posisi kelas yang prinsipil: “musuh utama kelas buruh ada di rumah sendiri”. Kita tidak boleh mempercayai sama sekali NATO dan para preman imperialis Barat, dan ini terutama benar bagi kaum buruh dan sosialis di Barat.
Tugas melawan geng reaksioner di Kremlin ada di pundak kaum buruh Rusia. Tugas kaum revolusioner di Barat adalah berjuang melawan kaum borjuasi mereka sendiri, melawan NATO, dan melawan imperialisme Amerika – yakni kekuatan yang paling kontra-revolusioner di muka bumi.
Kita tidak boleh mendukung satu pun dari kedua kubu dalam perang ini, karena ini adalah perang reaksioner. Pada analisa terakhir, ini adalah konflik antara dua kubu imperialis. Kita tidak mendukung satupun dari mereka. Rakyat pekerja Ukraina adalah korban dalam konflik ini, yang bukan tanggung jawab mereka dan tidak mereka inginkan.
Satu-satunya solusi untuk pawai reaksi dan penderitaan yang dialami oleh kaum buruh dan kaum muda Ukraina adalah kebijakan persatuan kelas melawan oligarki Ukraina, dan juga melawan imperialisme AS dan Rusia. Masalah kebangsaan di Ukraina sangatlah rumit dan setiap usaha untuk menguasai negeri ini di atas basis nasionalisme (entah itu nasionalisme Ukraina atau nasionalisme Rusia), niscaya akan memecah belah bangsa ini, menyebabkan pembersihan etnis dan perang saudara, seperti yang telah kita saksikan.
Pada akhirnya, kapitalisme, dalam masa uzurnya, berarti perang dan krisis ekonomi. Satu-satunya cara untuk mengakhiri horor ini adalah perebutan kekuasaan oleh kelas buruh, dari satu negeri ke negeri lainnya, dan menumbangkan sistem yang busuk ini. Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan revolusioner, sebuah kepemimpinan yang berlandaskan secara kokoh pada prinsip internasionalisme sosialis. Tugas yang paling urgen hari ini adalah bekerja secara sabar untuk membangun kekuatan Marxisme, untuk membangun International Marxist Tendency.